Banyak perusahaan saat ini mengalami masalah tentang sistem informasi yang berbeda didalam perusahaannya. Kunci permasalahan terjadinya fenomena tersebut pada dasarnya terletak pada kesalahan pemilihan pendekatan atau metodologi proses terkait.
Metodologi yang dipergunakan harus mampu menjawab berbagai kendala teknis maupun non teknis yang seyogiyanya dijumpai pada setiap isu penggabungan. Artinya, metodologi yang dipakai harus dibangun dengan memperhatikan berbagai aspek yang dimaksud tersebut.
Dengan adanya peristiwa diatas terjadi masalah sebagai berikut:
1. Terjadinya merger atau akuisisi antar dua atau sejumlah organisasi dalam berbagai industri vertikal, seperti : perbankan, asuransi, manufaktur, pendidikan.
2. Restrukturisasi korporasi yang dilakukan dengan mengubah pola relasi anak perusahaan dalam sebuah konsorsium grup usaha.
3. Strategi kerja sama berbagai institusi pemerintah secara lintas sektoral untuk meningkatkan kinerja birokrasi.
4. Tuntutan mitra usaha baik dalam dan luar negeri untuk meningkatkan kualitas aliansi dan kolaborasi .
Adanya berbagai fenomena tersebut secara tidak langsung memberikan dampak bagi manajemen organisasi, terutama dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber dayanya masing-masing. Artinya adalah bahwa, dua atau lebih sistem informasi yang ada harus diupayakan untuk ”diintegrasikan”. Terkait dengan hal ini, pengalaman membuktikan bahwa proses tersebut tidaklah sesederhana yang dipikirkan. Lamanya proses integrasi dan sering kandasnya usaha tersebut menggambarkan tingkat kesulitan atau kompleksitas usaha integrasi yang dimaksud.
Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan diatas maka diperlukan sebuah penyelesaian dengan pendekatan seperti berikut ini :
Tahap I: Eksploitasi Kapabilitas Lokal
Pada tahap ini, kita melakukan pengembangan maksimal terhadap kapabilitas sistem informasi masing-masing organisasi. Tujuannya adalah untuk memahami secara sungguh-sungguh batasan maksimal kemampuan sistem informasi dalam menghasilkan kebutuhan manajemen strategis dan operasional organisasi yang bersangkutan – baik dilihat dari segi keunggulannya maupun keterbatasannya.
Output/keluaran dari tahap ini adalah pemahaman akan keunggulan dan keterbatasan sistem informasi yang dimiliki organisasi dalam hal memenuhi visi dan misi organisasi yang bersangkutan maupun dalam kaitannya dengan kebutuhan organisasi mitra lainnya yang diajak bekerjasama.
Tahap II: Melakukan Soft Integration
Setiap kerjasama atau kolaborasi dua atau lebih organisasi kerap mendatangkan kebutuhan baru. Dan ketika kebutuhan bersama ini muncul, seringkali tidak dapat dipenuhi oleh sebuah sistem informasi yang dimiliki salah satu anggota konsorsium. Karena Tahap I yaitu kajian kapabilitas sudah dilakukan, tidak akan ada satu organisasi pun yang berani ”berbohong” bahwa hanya sistem informasinyalah yang dapat menyediakan kebutuhan kerjasama konsorsium.
Pada saat kebutuhan baru ini berhasil didefinisikan secara jelas, masing-masing organisasi melalui CIO-nya (CIO = Chief Information Officer) – atau personal dengan otoritas tertinggi di bidang sistem informasi – berkumpul dan berdiskusi bersama untuk mencari jalan keluar pemenuhan kebutuhan yang ada. Secara tidak langsung, dalam proses ini, cetak biru arsitektur masing-masing sistem informasi dapat mulai saling diperkenalkan dan dipertukarkan.
Jika hal ini berhasil dilakukan, maka tahap yang tersulit dalam integrasi, yaitu duduk bersama untuk memikirkan kepentingan yang lebih besar berhasil dilalui. Pada saat inilah sebenarnya hakekat ”integrasi” telah dilakukan. Secara teknis yang biasa dihasilkan adalah ide-ide solusi dalam bentuk penambahan sejumlah entitas atau komponen sebagai jembatan antara satu sistem dan sistem lainnya tanpa harus merusak masingmasing sistem informasi yang telah dianggap baik bekerja oleh setiap organisasi yang ada.
Keluaran yang sesungguhnya dalam tahap ini adalah kepercayaan dan kesadaran akan perlunya kerjasama untuk memecahkan solusi.
Tahap III: Membagi Sumber Daya Organisasi
Ketika skenario pada tahap kedua telah berjalan dengan baik, langkah berikutnya adalah melakukan evaluasi seberapa efisien dan optimum solusi tersebut berhasil dibangun terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan beraneka ragam sumber daya organisasi.
Sekali lagi para CIO akan berkumpul dan melihat bahwa banyak peluang untuk meningkatkan kinerja solusi yang dihasilkan dengan adanya ”sharing”. Misalnya menggunakan server dari organisasi A, aplikasi dari organisasi B, database dari organisasi C, jaringan dari organisasi D, dan lain sebagainya. Semua itu terjadi sebagai dampak kehendak untuk mencari solusi yang terbaik, sehingga seluruh CIO merasa tertantang intelejensianya dalam menghasilkan sistem yang dimaksud. Keluaran terpenting dari tahap ini adalah mulai bergesernya pemikiran-pemikiran yang didominasi oleh faktor emosional ke ide-ide brilian yang dipandu oleh pemikiran rasional.
Tahap IV: Mendesain Ulang Arsitektur Organisasi
Ketika konsorsium organisasi tersebut harus berurusan dengan pemenuhan kebutuhan pemilik kepentingan eksternal, seperti misalnya pelanggan atau publik, maka proses yang cepat, berkualitas, dan murah adalah yang menjadi dambaan mereka. Hal tersebut tidaklah mungkin terjadi jika secara lintas organisasi tidak dilakukan aktivitas redesain proses.
Di sinilah tahap penentu integrasi diuji kembali, karena yang akan terlibat tidak sekedar para CIO, melainkan pimpinan nomor satu dari masing-masing organisasi.
Biasanya yang dilakukan adalah para CIO melakukan kajian terlebih dahulu, dan mendesain arsitektur baru yang dipresentasikan kepada para pimpinan dengan sebuah pesan yaitu desain terkait dapat dan mungkin diterapkan oleh beragam organisasi tersebut. Keluaran dari tahap terberat ini adalah kesepakatan untuk melakukan kolaborasi secara lebih jauh, yaitu dengan memperhatikan nilai (atau value) dari pemegang kepentingan utama dari seluruh organisasi yang berkolaborasi.
Tahap V: Optimalkan Infrastruktur
Rancangan beraneka ragam proses baru yang dihasilkan pada tahap sebelumnya tidaklah akan berjalan secara efektif, efisien, optimal, dan terkontrol dengan baik apabila secara fundamental tidak dilakukan penyesuaian terhadap infrastruktur organisasi yang ada.
Proses optimalisasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan organisasi dengan batasan tetap dijaganya kinerja masing-masing sistem informasi untuk melayani organisasi yang ada secara vertikal.
Keluaran dari tahap optimaliasi ini adalah sebuah sistem informasi terpadu yang dapat bekerja secara efektif melayani kepentingan vertikal maupun horisontal. Dan tentu saja yang tidak kalah pentingnya, yaitu semakin eratnya relasi antar organisasi yang berkolaborasi setelah melewati sejumlah tahap sebelumnya.
Tahap VI: Transformasi Organisasi
Tahap terakhir yang akan dicapai sejalan dengan semakin eratnya hubungan antar organisasi adalah transformasi masing-masing organisasi. Transformasi yang dimaksud pada dasarnya merupakan akibat dari dinamika kebutuhan lingkungan eksternal organisasi yang memaksanya untuk menciptakan sebuah sistem organisasi yang adaptif terhadap perubahan apapun.
Sejumlah hal baru akan tumbuh menggantikan sesuatu yang telah lama dianut, misalnya:
1. Transformasi dari organisasi berbasis struktur dan fungsi menjadi organisasi berbasis proses;
2. Transformasi dari organisasi berbasis sumber daya fisik menjadi organisasi berbasis pengetahuan;
3. Transformasi dari organisasi berbasis kebutuhan pemilik kepentingan internal
4. menjadi organisasi berbasis kebutuhan pemilik kepentingan eksternal; dan lain-lain.
Tahap setelah Integrasi
Dari berbagai tahap yang telah dijelaskan diatas terlihat bahwa proses integrasi merupakan sebuah strategi transisi yang terjadi secara alami, bukan dipaksakan oleh satu atau dua kubu kepentingan tertentu. Dalam prakteknya, rangkaian tahapan tersebut akan berlangsung membentuk siklus hidup yang berlanjut, sejalan dengan keinginan setiap organisasi untuk selalu memperbaiki kinerjanya dari waktu ke waktu. Tentu saja setelah melalui proses evaluasi dan pembelajaran yang terjadi secara kontinyu dan berkesinambungan.
Sumber 1